13,2 Persen Pasien COVID-19 yang Meninggal Memiliki Penyakit Hipertensi

653

13,2 Persen Pasien COVID-19 yang Meninggal Memiliki Penyakit Hipertensi

Di masa pandemi COVID-19, orang dengan penyakit penyerta (komorbid) merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan terpapar virus. Oleh karenanya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menaruh perhatian serius dan khusus bagi mereka, pasalnya penyandang Penyakit Tidak Menular (PTM) terkonfirmasi COVID-19 berpotensi besar mengalami perburukan klinis sehingga meningkatkan risiko kematian.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per tanggal 13 Oktober 2020, dari total kasus yang terkonfirmasi positif COVID-19, sebanyak 1.488 pasien tercatat memiliki penyakit penyerta. Di mana presentase terbanyak diantaranya penyakit hipertensi sebesar 50,5%, kemudian diikuti Diabetes Melitus 34,5% dan penyakit jantung 19,6%. Sementara dari jumlah 1.488 kasus pasien yang meninggal diketahui 13,2% dengan hipertensi, 11,6% dengan Diabetes Melitus serta 7,7% dengan penyakit jantung.

Merespon hal tersebut, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakti Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie, MD, M.H.Kes mengatakan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyakit katastropik yang tidak dapat disembuhkan melainkan dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko. Pasalnya, apabila tidak dicegah dan dikendalikan akan menjadi bom waktu yang dapat menyebabkan terjadinya Kasus Hipertensi baru yang sangat signifikan dan berdampak pada pembiayaan Jaminan Kesehatan khususnya terkait penyakit Katastropik.

“Hipertensi sangat mungkin dicegah dengan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama di masa pandemi ini kita harus berhati-hati dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Untuk itu pandemi COVID-19 ini bisa kita jadikan sebagai momentum untuk membudayakan gaya hidup sehat,” kata Cut dalam Temu Media Hari Hipertensi Sedunia Tahun 2020 yang digelar secara daring pada Selasa (13/10).

Dia menjabarkan pola hidup bersih dan sehat bisa dimulai dengan mengukur tekanan darah secara teratur, menjaga makanan tetap sehat dengan membatasi konsumsi gula, garam dan lemak, menghindari makanan manis, perbanyak makan buah dan sayur, menjaga berat badan ideal, melakukan aktivitas fisik secara rutin seperti jalan atau melakukan aktivitas sehari-hari di rumah.

Di samping menjaga pola hidup bersih dan sehat, Cut menambahkan upaya pencegahan dan pengendalian hipertensi harus dilakukan dengan melakukan deteksi sedini mungkin. Bagi orang-orang yang memiliki faktor risiko maka deteksi dini berupa pengukuran tekanan darah hendaknya dilakukan sebulan sekali, sementara bagi orang sehat tetap harus melakukan skrining minimal sekali dalam rentang waktu 6 bulan sampai 1 tahun.

Upaya ini kemudian ditindaklanjuti dengan rujukan ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sehingga permasalahan Hipertensi dapat segera dicegah dan dikendalikan. Skrining dan deteksi dini pengukuran tekanan darah yang benar dan teratur merupakan kunci utama menemukan kasus sedini mungkin sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat.

Hal senada disampaikan oleh anggota Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI) dr. Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA menuturkan bahwa rutin mengukur tekanan darah sangat penting dilakukan baik bagi orang sehat maupun orang dengan faktor risiko. Tujuan pengukuran tekanan darah sebagai penapisan dan diagnosis, pengobatan serta keberhasilan pengobatan. Upaya ini harus digiatkan terutama bagi orang dengan rentang usia diatas 40 tahun serta memiliki tekanan darah normal-tinggi.

“Semakin tinggi umur anda semakin besar kemungkinan anda terkena hipertensi. Tekanan normal-tinggi 37% mengalami hipertensi dalam jangka waktu 4 tahun kedepan, itulah kenapa diperlukan pengukuran tekanan darah secara berkala,” terangnya.

Untuk itu, dalam rangka mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya promotif preventif, Kementerian Kesehatan telah melakukan kegiatan monitoring dan skrining secara berkala dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui Pos Binaan Terpadu (POSBINDU).

Cut menyebutkan hingga kini dari 80 ribu desa tercatat 60 ribu desa telah memiliki POSBINDU. Ke depan, ditargetkan setiap satu desa terdapat satu POSBINDU. Kendati demikian, cakupan masyarakat untuk melakukan skrining masih sangat rendah, hal ini dikarenakan POSBINDU tidak memberikan pengobatan bagi para pasien, sehingga banyak masyarakat enggan memanfaatkannya.

“Pengobatan adanya di Puskesmas, oleh karenanya kami terus memberikan edukasi dan penguatan informasi agar masyarakat mau memanfaatkan POSBINDU untuk melakukan deteksi dini secara berkala, ini kita terus dorong,” ujarnya.

Selain memanfaatkan POSBINDU, deteksi dini dapat dilakukan dengan memanfaatkan BPJS Kesehatan yang dimilikinya melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Polanis). secara rutin, mereka terus dipantau kesehatannya serta dapat melakukan konsultasi dengan para dokter secara online melalui tele konsultasi. Kolaborasi keduanya, diharapkan dapat meningkatkan upaya deteksi dini, penemuan dan rujukan tindak lanjut sesuai kriteria klinis.

“Kemenkes terus mendorong masyarakat untuk melakukan skrining secara berkala, mereka bisa melakukan upaya deteksi dini secara mandiri di rumah maupun memanfaatkan program dari pemerintah yakni POSBINDU dan Polanis. Kita terus berupaya untuk bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk Dinas Kesehatan,” pungkasnya.

 

sumber : http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/